Senin, 27 Juni 2011

Al Qur'an Sebagai Bukti yang Nyata Dari Allah SWT.

Al Qur’an Sebagai Bukti Keterangan yang Nyata
Dari Allah SWT.
A.    Pendahuluan
Al Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Khatamul-Anbiya’ melalaui firman Allah yang diturunkan Rahul-Amin sebagai penutup dari kitab-kitab suci Allah yang diturunkan sebelumnya. Tidak ada lagi kitab suci yang diturunkan oleh Allah ke bumi, setelah berakhirnya periode pewahyuan Al Qur’an Kitab suci Al Qur’an di turunkan ke bumi bertujuan agar menjadi petunjuk dan penerang bagi umat manusia.
Dengan demikian, sudah seharusnya bagi umat manusia untuk memahami, mengkaji, dan mengamalkan pesan-pesan Ilahi yang terkandung di dalamnya. Dalam memahami dan mengkaji Al Qur’an tentunya dimulai dengan membaca Kitabullah tersebut. Oleh karena itu, membaca Al Qur’an pun dinilai sebagai bentuk ibadah kepada Allah swt. yang melahirkan imbalan berupa pahala dari-Nya.
Dalam membaca Al Qur’an sangat banyak mendapatkan pelajaran yang terkandung di dalamnya, selain Al Qur’an sebagai petunjuk, Asyifa, Al Qur’an pun sebagai bukti keterangan yang nyata dari Allah swt. yang menjelaskan banyak peringatan-peringatan yang diterangkan Allah swt. dalam artikel ini akan dibahas tentang perumpamaan bagi orang-orang yang mendengarkan pembacaan Al Qur’an dan peringatan bagi orang-orang yang mempersamakan Allah dengan sesuatu.
B.     Perumpamaan Bagi Orang-orang yang Mendengarkan Pembacaan Al-Qur’an

Artinya:
Perumpamaan mereka itu seperti orang yang menyalakan api, kama setelah api menerang sekeliling mereka, (lalu) Allah menghilangkan cahaya api itu, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, (sehingga) mereka tidak dapat melihat (apa yang ada disekeliling mereka sesudah mereka melihatnya). (QS Al baqarah: 17)
Artinya:
Mereka bisu, buta, maka mereka tidak dapat kembali (ke jalan yang benar). QS. Al Baqarah : 18)




Artinaya:
Atau (perumpamaan) mereka itu seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit yang didalamnya gelap-gulita, guruh dan kulit, (kemudian) mereka menyumbat telinga mereka denagn anak jarinya (untuk menolak  mendengar suara) petir, karena mereka takut mati. Dan (penetahuan) Allah meliputi (perbuatan) orang-orang kafir. QS. Al Baqarah: 19
  

Artinya :
Hamper-hampir kilat menyambar penlihatan mereka, dan setiap kilat bersinar (menyinari) mereka, mereka berjalan di bawah sinarnya, dan apabila gelap menimpa mereka, (lalu) mereka berhenti, dan kalau Allah menghendaki niscaya Dia melenyapkan pendengaran mereka dan penglihatan mereka, sesungguhnya Allah Maha Kuat atas segala sesuatu. (QS. Al baqarah:20)
Itulah yang Allah peringatkan kepada kita dengan ayat-ayat-Nya. Maka mari kita perhatikan bagaimana Allah memberi peringatan kepada kita. Sesungguhnya orang-orang yang mendengarka  pembacaan ayat-ayat Allah dalam Al Qur’an, kemudian sesudah itu mereka mengikuti bisiskan syaitan dan melupakan keteranga-keterangan dan petunjuk Allah untuk mengerjakan perintah-Nya[1]. Maka perumpamaan mereka itu sepreti orang yang menyalakan api, maka setelah api menerangi sekeliling mereka, lalau Allah menghilangkan cahaya itu, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, sehingga mereka tidek dapat melihat apa yang ada di sekeliling mereka, sesudah melihatnya.
Dan yang demikian itu karena sesudah mereka mendengarkan peembacaan Al Qur’an, mereka kembali kepada urusannya masing-masing dengan mengikuti bisiskan syaitan dan melupakan keterangan-keterangan dan petunjuk Allah menerjakan perintah-Nya, sehingga mereka gelap kembali tidak melihat apa yang Allah tunjukkan kepada mereka dengan cahaya penerangan itu. Mereka seakan-akan tuli tidak mendengarkan apa yang telah Allah terangkan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya, dan seakan-akan mereka buta tidak dapat melihat apa yang telah Allh tunjukan kepada mereka dari perintah-Nya.[2] Maka seandainya demikian tentu mereka tidak dapat kembali ke jalan yang benar apabila mereka mengerjakan perintah Allah. Dan yang demikian itu karena mereka lupa akan keterangan-keterangan dan petunjuk Allah untuk mengerjakan perintah-Nya, sesudah mereka mendengarnya.
Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendengarkan pembacaan ayat-ayat Allah dalam Al Qur’an, kemudian sesudah itu mereka mengikuti bisikan syaitan dan melupakan keterangan-keteranagan dan petunjuk Allah untuk mengerjakan perintah-Nya. Atau perumpamaan mereka dalam mendengarkan pembacaan Al Qur’an itu mereka seperti orang-orang yang ditimpa lebat dari langit, yang di dalamnya gealp-gulita, guruh dan kilat, kemudian mereka menyumbat telinga mereka dengan jarinya untuk menolak mendengar suara petir karena mereka takut mati. Dan pengetahuan Allah meliputi perbuatan orang-orang kafir. Padahal keteika itu hamper-hampir kilat menyambar penglihatan mereka dan setiap kilat bersinar menyinari mereka, mereka berjalan I bawah sinarnya, dan apabila gelap menimpa mereka, lalu mereka berhenti, dan kalau Allah menghendaki niscaya Dia melenyapkan pendengaran mereka dan penglihatan mereka, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Demikianlah Allah menerangkan kepada kita, dan demikian itu karena ketika mereka mendengarkan pembacaan Al Qur’an itu, mereka seakan-akan berada dalam keadaan gelap tidak melihat apa yang Allah terangkan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya, sehingga ketika mereka dihujani peringatan dari  sisi Allah dan rahmat-Nya yang berupa keterangan-keteranagan dan petunjuk untuk mereka mengerjakan perintah Allah, mereka seakan-akan menyumbat telinganya dengan anak jarinya untuk menolak mendengar apa yang diperingatkan kepada mereka, karena mereka takut mati masuk neraka, dan yang demikian itu karena mereka mendengarnya. Dan pengetahuan Allah meliputi perbuatan orang-orang kafir.
Padahal ketika mereka mendengarkan pembacaan Al Qur’an itu, hamper-hampir mereka melihat apa yang Allah terangkan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya, dan setiap melihatnya mereka memahaminya dan membenarkannya, sehingga rasa hati dan ingatan mereka berjalan mengikuti apa yang Allah terangkan kepada mereka. Akan tetapi apabila pembacaan Al Qur’an berhenti menerangkan apa yang telah Allah terangkan kepada mereka, tiba-tiba mereka gelap kembali seakan-akan mereka tidak mendengarnya dan tidak pula melihatnya dalam mendengarkan pembacaan Al Qur’an itu, dan yang demikian itu karena mereka kembali kepada urusannya masing-masing dengan tidak memperdulikan apa yang telah Allah terngkan kepada mereka dengan ayat-ayat-Nya. Dan yang demikian itu jika Allah menghendaki niscaya Dia melenyapkan pendengaran mereka dan penglihatan mereka, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.[3]
C.    Peringatan bagi oaring-orang yang mempersembahkan Allah dengan sesuatu

Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (QS. An Nisa’:116)

Sangat bayak ayat-ayat Allah yang menjelaskan tentang peringatan untuk menyembah Allah swt. dengan adanya peringatan kepada kita melalui ayat-ayat-Nya, maka mari kita perhatikan bagaimana Allah memberikan peringatan kepada kita. Sungguh Allah tidak akan mengampuni dosa orang-orang yang mempersamakan Allah dengan sesuatu yang dalam menyembahnNya dan Allah akan mengampuni dosa terhadap orang yang dikehendaki.[4] Dan barang siapa diantara kita ada yang mempersembahkan Allah dengan sesuatu ketika ia  shalat sujud menyembah menyeru Allah dengan rasa hati denga ingatannya lurus tercurah kepada esuatu yang telah Allah ciptakan, maka sungguh ia telah tersesat penyembahannya kepada Allah denagn sejauh-jauhnya tersesat dari petunjuk Allah. Dan yang demikian itu karena Allah telah  menyuruh kita dan member petunjuk kepada kita, supaya kita menyembah Allah yang telah menciptakan kita.[5]
Oleh karena itu perlu kita perhatikan bagaimana Allah menyuruh kita, supaya kita menyembah ALllah yang telah menciptakan kita, ketika kita melaksanakan sholat suju menyembah menyeru Allah rasa hati dan ingatan kita lurus tercurah kepada sesuatu yang telah Allah ciptakan. Maka apakah penyembahan kita kepada Allah tidak tersesat dari petunjuk-Nya? Tentu saja, karena Allah telah menyuruh kita dan memberi petunjuk kepada kita, supaya kita menyembah Allah Tuhan yang telah menciptakan kita, bukan menyuru kita menyembah sesuatu yang telah Allah citakan. Maka janganlah kita menyembah sesuatu selain Allah, karena tidaklah kita menyembah sesuatu selain Allah melainkan kita menyembah berhala, dan tidaklah kita menyembah berhala melainkan kita menyembah syetan yang durhaka. Dan Allah telah mengutuk syaitan “dan ketika itu syaitan berkata kepada Allah : “sungguh aku akan mengambil sebagian hamba-hambaMu yang sudah ditentukan tersesat.[6]  
Penutup
Al Qur’an sebagai pedoman umat manusia yang menjadi penerang dan petunjuk dalam kehidupan kita. Allah telah menurunkan Al Qur’an agar menjadi panduan, pelajaran untuk umat manusia agar selamat dunia akhirat. Dan jika kita ingin masuk syurga maka kerjakanlah apa yang Allah perintahkan kepada kita dengan ayat-ayat-Nya dan jauhilah apa yang dilarang Allah dan tidak mengerjakannya. Karena itu jadikanlah Al Qur’an sebagai pedoman agar tidak tersesat di jalan Allah.  
a

[1]  Irfan Abdul Azhim,  Agar Bacaan Aur’an Tidak Sia-sia, (Cet. I, Solo: Iltizam, 2009), h. 7
[2]  Ibid
[3] Hari Susanto, Majallah “cahaya Iman”, ed. 47
[4] Ibid
[5] Abu Abdullahh Al-Muhasibih, Jangan Melupakan Allah, (Cet, I, Yogyakarta: Citra Risalah, 2008), h. 65
[6] Ibid

Dakwah dan Perubahan Kemasyarakatan

Dakwah Dan Perubahan Kemasyarakatan

A.    Pendahuluan
Dakwah pada hakekatnya merupakan upaya untuk mempengaruhi seseorang dalam bertindak dan berperilaku. Dengan dakwah yang dilakukan oleh seorang da’i maka diharapkan akan mampu mengubah kepribadian baik secara individu maupun kolompok. Oleh karena itu dakwah adalah suatu
Dalam pengertian nonmaterial berarti dakwah sebagai aktifitas yang mampu melakukan perubahan perilaku dan pola pikikir yang mampu melakukan perubahan perilaku dan pola piker sehingga orientase pemikiran manusia menuju ke arah yang lebih positef. Sedangkan dalam pengertian material dakwah dapat menimbulkan corak kegiatan manusia yang lebih menjanjikan masa depan bagi suatu masyarakat.
Dakwah dalam dimensi nonmaterial dikenal sebagai dakwah bil lisan yang lebih banyak memfokuskan pada penekanan informatif persuasive. Sedangkan dakwah yang berdimensi material disebut dakwah bil hal karena lebih menekankan kepada hal-hal yang bersifat praktis yang mampu merangsang agar mad’unya lebih cepat melakukan perubahan dalam kegiatannya sehari-hari.
Keberhasilan dakwah ditentukan oleh factor-faktor yang berpengaruh dalam kegiatan dakwah. Salah satu dari faktor tersebut adalah adanya lingkungan mad’u yang dikenal sebagai masyarakat.
Masyarakat itu berkembang sesuai dengan budayanya yang ikut menentukan. Perubahan suatu masyarakat adalah suatu perkembangan dari sisi masyarakat itu termasuk didalamnya masalah tatanan sosial yang melingkupinya. Hal itulah yang dikenal dengan istilah perubahan sosial.
Dakwah dan perubahan sosial masyarakat sangat saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan dakwah terjadilah perubahan sosial dari suatu masyarakat, begitupula sebaliknya perubahan sosial ikut juga menentukan arah dakwah yang dilaksanakan. Kebanyakan dakwah Islam dituntun oleh adanya pergeseran nilai yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian dibutuhkan model-model dakwah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
                                                            
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dituliskan, maka dapat dirumuskan sebuah permasalahan yakni bagaimana pengembangan Dakwah dan perubahan sosial di kalangan masyarakat kota dan desa?
Seperti yang dijelaskan pada latar belakang bahwa strategi dakwah sangat ditentukan oleh bentuk mad’unya. Keragaman masyarakat menuntut adanya suatu strategi yang tepat dalam memberikan pesan dawah kepada mereka. Secara makro dapat dikatakan kerangka metodologi dakwah yang sesuai adalah jawaban yang tepat dalam memberikan model dakwah yang sesuai dengan kebutuhan mad’u yang dihadapi.
Berkaitan dengan dakwah yang dihadapi, ada beberapa mad’u yang membutuhkan kemasan dakwah yang tepat. Kemasan dakwah yang diharapkan adalah berdasarkan kebutuhan mad’u yang peling menonjol dan menjadi kebutuhan mereka.
Adapun pengembangan dakwah di kalangan masyarakat kota dan desa sebagai berikut:

C.     Dakwah Islam di kalanagan Masyarakat Kota
Masyarakat kota dengan ciri kemajuannya telah membentuk kepribadian lebih mengandalkan kemampuan diri sendiri daripada orang lain. Dalam artian masyarakat kota telah mempunyai kemampuan lebih dari masyarakat lain di luar kota, baik material maupun non-material.
Kemampuan material yakni kemampuan yang berupa kebendaan yang dimiliki oleh masyarakat kota. Sedangkan kemampuan non-material merupakan kemampuan yang berbentuk pemikiran dan daya pikir dalam memecahkan persoalan yang terjadi dalam lingkungannya, begitupun dengan intelektualisasinya. Kemampuan-kemampuan tersebut lebih menonjol dimiliki oleh masyarakat kota karena didukung dengan fasilitas yang memadainya. Sebab faktor-faktor dari luar diri manusia pun ikut menentukan berkembangnya suatu masyarakat.
Kedua bentuk kemampuan tersebut yang telah dituliskan dapat membentuk kepribadian masyarakat menjadi berbeda dibandingkan dengan masyarakat yang serba terbatas dalam pengertian pengenalan terhadap sesuatu yang terbatas. Namun dari segi kepribadian lebih menonjolkan pribadi yang bersifat individualistik.[1]
Pribadi masyarakat kota yang bersifat individualistik adalah cenderung menjadi ciri khusus dan telah menjadi suatu perbedaan yang menyolok dibandingkan dengan masyarakat desa. Hal ini menjadi motif bahwa masyarakat kota condong melepaskan diri dari kepentingan orang banyak. Ekses yang dirasakan akibat adanya sikap indiviualistik itu adalah tidak membutuhkan orang lain. Yang penting bagi mereka adalah kemajuan diri sendiri.[2]
Kondisi masyarakat yang individualistik bertentangan dengan agama yang senantiasa menghendaki agar umatnya saling membantu antara satu dengan yang lainnya. Hal inilah yang diistilahkan dalam bahasa agama dengan ajaran Ta’awanun  (tolong-menolong). Namun demikian agama dalam menghadapi masyarakat yang sedemikian rupa tidak bersifat kontradiktif, melainkan melakukan pendekatan yang selaras dengan kepentingan yang menonjol bagi masyarakat tersebut.
Berangkat dari pemikiran Islam maka dakwah Islam di kalangan masyarakat kota perlu dilakukan denagn pendekatan persuasif dan inovatif. Pendekatan persuasif dimaksudkan sebagai upaya memasukkan ajaran agama selaras dengan kepentingan masyarakat tersebut, dalam artian da’i harus mampu memahami mad’u yang dihadapinya. Pengembangan dakwah yang sesuai bagi masyarakat kota adalah dakwah yang mampu meningkatkan kemajuan masyarakat kota dan mampu mengadakan perubahan yang lebih kondusif bagi linkungannya.[3]

D.    Dakwah Islam di kalangan Masyarakat Desa
Masyarakat desa pada dasarnya merupakan kelompok sosial yang cenderung kepada pengolahan tanah (alam) dalam istilah lainnya adalah masyarakat agraris (pertanian), oleh kerena itu masyarakat sangat menggantungan kehidupannya kepada lingkungan alamnya. Mata pencaharian dan bahkan sikap dan perilaku masyarakat sangat bersifat alami. Dalam artian keterkaitan mereka dengan alam lingkungan merupakan ciri yang sangat menonjol. Disamping itu, berkaitan erat dengan tipe alamiyah yang dimiliki masyarakat desa adalah sangat kuatnya kebersamaan dalam masyarakat yang dikenal dengan istilah gotong royong, pada dasarnya merupakan hakekat umum dari suatu masyarakat. Hal ini searah dengan teori sosiologi bahwa manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon).[4]
Persoalan pokok yang dihadapi masyarakat desa erat kaitannya dengan tarap hidup mereka. Bagaimana meningkatkan dan mengolah hasil pertanian sehingga menjadi kebutuhan pokok yang dapat dibanggakan untuk mengefektifkan pengembangan masyarakat desa diperlukan pola pengembangan dan pembangunan yang searah dengan kondisi sosial budaya.
Berkaitan dengan pola pengembangan dan pembangunan masyarakat desa maka berdakwah dikalangan masyarakat desa harus bernuansa kealaman sebagaimana kecenderungan yang ada pada masyarakat tersebut. Sebab pada dasarnya dakwah berarti upaya pembangunan masyarakat secara keagamaan. Yaitu dengan mengadakan perubahan sikap dan perilaku masyarakat dengan wawasan moral agama.
Strategi dakwah di kalangan masyarakat desa dapat dikembangkan dalam bentuk dakwah bil hal dengan wujud pengolahan hasil bumi kearah hasil yang memadai dan peningkatan kemandirian melalui pelatihan kerja dengan sumber daya yang ada. Strategi yang lain dapat berbentuk strategi dakwah  bil lisan yang mengarah kepada timbulnya semangat kerja yang tinggi. Aplikasinya adalah melalui penyampaian ajaran agama yang bernadakan kerja keras, dapat dicontohkan dalam Al Qur’an surah Ar Ra’du : 11 dan Yusuf : 8.
PENUTUP
Dakwah merupakan salah satu cara melakukan perubahan sosial. Perilaku masyarakat yang melanggar norma dan etika yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat harus diluruskan agar dampak buruknya tidak menyebar dan menjadi penyakit kolektif. Masyarakat harus dibimbing dan diarahkan kepada hal-hal positif yang yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya akan tetapi bermanfaat bagi orang lain.  



[1] W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung : PT Refika Aditama, cet; 15, 2002) hal. 180
[2] Basrowi, Pengantar Sosiologi, (Depok : Ghalia Indonesia, cet; I, 2005)  hal. 63                                   
[3] Ghazali, Bahri, Dakwah komunikatif, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, cet; I, 1997) hal. 52
[4] Op. cit hal, 49

Kamis, 23 Juni 2011

Islam Pasca Hijrah (Masyarakat dan Negara Madinah)

ARTIKEL
“ ISLAM PASCA HIJRAH ”
(Masyarakat dan Negara Madinah) 

          A.  Pendahuluan
Islam datang sebagai rahmat semesta alam itulah pemberitaan al-Qur'an, dan untuk itulah nabi Muhammad diutus ke muka bumi ini. Masa kerasulan Muhammad sama dengan turunnya wahyu di bagi menjadi dua periode sejarah. Pertama, periode Mekkah yaitu sejak beliau menerima wahyu pertama sampai dengan beliau Hijrah dari Mekkah ke Madinah. Kedua, periode Madianah yaitu sejak beliau Hijrah dari Mekkah ke Madinah tahun 622 M hingga wafatnya beliau pada 12 Robi'uI awal 11 H/18 juni 623 M.
Selama periode Mekkah pengikut Muhammad SAW hanya. Sekelompok kecil, belum menjadi suatu komunitas yang mempunyai wilayah tertentu dan kedaulatan. Posisi umat Islam pada waktu itu sangat lemah sebagai golongan minoritas tertindas dan tidak mampu menentang kekuasaan kaum Qurasiy Mekkah. Tetapi setelah Hijrah ke Madinah, posisi Nabi dan umat Islam mengalami perubahan besar. Di Madinah, tulis Harun Nasution,[1] mereka mempunyai posisi yang baik dan segera menjadi suatu komunitas umat yang kuat dan berdiri sendiri. Nabi sendiri yang menjadi pemimpin masyarakat yang baru di bentuk dan akhimya menjadi suatu negara.
Adalah hal yang cukup sepektakuler telah di pampangkan oleh Islam pada saat kediniannya untuk mewujudkan cita-citanya ketika Islam berhadapan dengan penduduk Madinah yang pluralistik tidak hanya dari suku budaya dan bahasa akan tetapi juga agama yang di peluknya. Sejarah telah mencatat pada. tahun pertama Hijriyyah Islam telah menunjukkkan jati dirinya kepada dunia dengan memformulasikan pada sebuah fakta yang monumental yang dikenal dengan Piagam Madinah. Sebuah piagam yang oleh para ahli konstitusi dianggap sebagai piagam tertulis pertama di dunia setelah zaman Yunani.
Yastrib merupakan wilayah pertanian yang sangat subur menghasilkan hasil pertanian yang sangat melimpah, selain itu suhu tropisnya sepanas di Mekkah. Masyarakatnya berhati lembut, penuh pertimbang, cerdas berfikir. Ditambah lagi, di Yastrib tidak terdapat kalangan atasan dan tidak terdapat sistem kepemimpinan aristokrasi seperti yang terdapat di Mekkah itulah yang membuat Islam lebih diterima di Yastrib di bandingkan di Mekkah.[2] 

B.  Pembinaan Masyarakat dan Keadaan Sosial Kultur Masyarakat Madinah
Pekerjaan besar yang dilakukan Rasulullah dalam periode Madinah adalah pembinaan masyarakat Islam yang baru terbentuk. Karena Masyarakat merupakan wadah pengembangan kebudayaan, maka bebarengan dengan pembinaan masyarakat itu diletakkan pula dasar-dasar kebudayaan Islam, sehingga terbentuk sebuah masyarakat Islam yang kokoh dan kuat. Dasar-dasar kebudayaan yang diletakkan oleh Rasulullah pada umumnya merupakan sebuah nilai dan norma yang mengatur manusia dan masyarakat dalam hal yang berkaitan dengan peribadatan, sosial, ekonomi, dan politik yang bersumber dari al-Qur'an dan sunnah.[3]
 Madinah terletak di bagian utara Hijaz, 300 Mil[4] sebelah utara Mekkah. Sebelum kedatangan Muhammad SAW disebut Yastrib, adalah daerah oasis, penghasil kurma unggul dan gandum, Yastrib merupakan wilayah pertanian yang sangat subur yang menghasilkan hasil pertanian yang melimpah, selain itu suhu teopisnya tidak sepanas di Mekkah. Hal itulah yang membuat Islam lebih diterima Yastrib dari pada di Madinah.[5] Sementara itu, penduduk Yastrib menunggu-nunggu kedatangan nabi. Waktu yang telah mereka tunggu-tunggu itu telah tiba. Nabi memasuki Yastrib dan penduduk kota itu mengelu-elukan kedatangan beliau dengan penuh kegembiraan. Sejak itu sebagai penghormatan kepada Nabi, nama Yastrib diubah menjadi Madinnatun Nabi atau sering disebut juga Madinah Afuna'waroh.[6]
Lembaga Utama dan pertama yang dibangun oleh Nabi dalam rangka pembinaan masyarakat Madinah adalah masjid yaitu masjid Quba, selama beberapa hari kemudian masjid Naba setelah beliau tiba di Yastrib. Masjid yang dibangun Rasulullah tidak hanya untuk peribadatan umum namun digunakan pula untuk tempat pertemuan Rasulullah dan para sahabatnya. Rasa kesatuan seiman dan satu golongan terbentuk melalui kegiatan yang berpusat di masjid itu. Dengan demikian masjid berfungsi sebagai tempat memperkokoh hubungan sesama kaum muslimin, hubungan intern umat Islam.
Beberapa Asas masyarakat Islam yang telah diletakkan oleh Rasulullah antara lain: 1)AI-Ikha (persaudaraan) dalam hal ini rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshor, 2) Al-Musawah (persamaan), semua manusia sama, seorang Arab tidaklah lebih mulia dari seoranng 'Ajam dan juga sebaliknya, kecuali ketakwaannya. 3) Al -Tasamuh (toleransi), disini umat Islam siap berdampingan dengan Yahudi dan mereka mendapat perlindungan dari negara dan bebas melaksanakan ajaran agamanya. 4) Al-Tasyaiwur (musyawarah). Hal ini  dibuktikan Muhammad SAW ketika ia meminta pendapat para sahabat dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan yaitu persoalan yang berkaitan dengan dunia sosial dan budaya, 5) Al-Adalah (keadilan) berkaitan dengan hak dan kewajiban individu dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan posisi masing-masing, Al-Ta’awun (tolong menolong).[7] 

C.  Piagam Madinah
Sejarah menunjukkan bahwa nabi Muhammad dan umat Islam, selama kurang lebih 13 tahun di Mekkah terhitung sejak pengangkatan beliau sebagai Rasul, belum mempunyai kekuatan dan kesatuan politik yang menguasai suatu wilayah. Umat Islam menjadi suatu komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M Hijrah ke Madinah, kota yang sebelumnya dikenal dengan Yastrib.[8]
Tidak lama sesudah Hijrah, Nabi Muhammad membuat suatu piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama di Madinah yang di huni oleh beberapa macam golongan. Beliau memandang adanya peraturan pokok tata kehidupan bersarna di Madinah agar terbentuk kesatuan hidup diantara seluruh penghuninya. Kesatuan hidup yang baru dibentuk itu dipimpin oleh Muhammad SAW sendiri menjadi kepala negara yang berdaulat. Dengan demikian di Madinah Nabi Muhammad bukan lagi hanya mempunyai sifat Rasul Allah, tetapi juga sifat kepala negara.[9]
Para ahli seiarah menyebut naskah politik ini dengan sebutan yang bermacam-macam seperti W. Montgomery menamainya “ the Constitutiaon of Medina ", R.A Nicholson " Charter", Majid Khanduri " Treaty" Philip K. Hitti “agreement". Zainal Abidin Ahmad " Piagam", dan "As-Shohifah" adalah nama disebut dalam teks piagam.[10] Ditetapkannya piagam politik ini merupakan salah satu dai siasat Rasul sesudah Hijrah ke Madinah untuk membina kesatuan hidup berbagai golongan warga Madinah. Dalam piagam itu dirumuskan kebebasan beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup dan lain-lainnya. Berdasarkan isi Piagarn Madinah itulah warga Madinah yang majemuk, secara politis di bina di bawah pimpinan Muhammad. Betapa tinggi nilai Piagam ini, Nur Kholis Majid mengatakan : " Bunyi naskah Konstitusi (Piagam Madinah) itu sangat menarik. la memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut pemikiran modern sangat mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern. Perjanjian itu berupa ; 
  1. Ditetapkan dan diakui kemerdekaan tiap golongan untuk memeluk dan menjalankan agamanya. 
  2. Setiap penduduk bertanggung jawab dan memikul kewajiban bersama untuk menyelenggarakan keamanan dan membela serta mempertahankan negeri terhadap ancaman dan serangan musuh dari manapun juga datangnya.
  3.  Urusan pribadi atau peroranngan, perkara-perkara kecil kelompok non muslim tidak harus melibatkan pihak-pihak lain.
  4.  Setiap bentuk penindasan dilarang.
  5.  Segala bentuk pertumpahan, pembunuhan dan penganiayaan diharamkan.[11] 
  6. Tidak satu kelompokpun diperkenankan mengadakan persekutuan dengan kafir Quraisy atau memberi perlindungan kepada mereka atau membantu dan penganiayaan mereka mengadakan perlawanan terhadap masyarakat Madinah.
  7.   Muhammad, Rasulullah, menjadi kepala Republik Madinah dan memegang kekuasaan peradilan tertinggi. 
  8. Seluruh masyarakat yang turut menandatangani piagam ini bersatu membentuk satu kesatuan kebangsaan.[12] Perjanjian ini dikenal dengan Piagam Madinah.
Munawir Sadjali menuliskan bahwa batu-batu besar yang telah ditetapkan oleh Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah itu adalah sebagai berikut : 1) Semua pemeluk umat Islam meskipun berasal dari banyak suku, tapi merupakan satu komunitas. 2) Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas-komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip  baik dalam bertetangga, saling membantu dalam menghadapi musuh, membela yang teraniaya, saling menasehati, menghormati kebebasan beragama dan piagam itu sebagai konstitusi agama Islam yang pertama tidak menyebut agama negara.[13] Dalam Piagam Madinah juga memberikan suatu kelonggaran kepada kelompok lain serta tidak melaksanakan suatu ajaran paham baru kepada non muslim, salah satu yang prinsip yang dijunjung oleh nabi adalah prinsip kebebasan. 
D.  Pembinaan Persatuan dan Kesatuaan 
Pada saat nabi tiba di Madinah, masyarakatnya terbagi dalarn berbagai golongan, yaitu Golongan Muhajirin yaitu para pengikut Nabi orang-orang mukmin yang meninggalkan kota Mekkah atau tanah kelahiran mereka dan turut hijrah di Madinah. Kesetian kaum Muhajirin sangat besar, mereka bersedia berhijrah dengan meninggalkan handai tolan dan sanak keluarga dan tabah menghadapi segala cobaan dalam perjuangna dijalan Allah.
Pengikut Nabi yang lainnya adalah penduduk asli Madinah yang telah memberikan pertolongan kepada Nabi, mereka ini mendapat sebutan kaum Anshor. Mereka dengan ramah menerima Nabi dan membantu Nabi dalam dalam kondisi bagaimanapun sesuai dengan perjanjian Aqobah. Kaum Anshor turut aktif dalam segala program Nabi, bahkan berani mengorbankan harta benda untuk kepentingan perjuangan Islam. Ikatan antara kaum Anshor dan Muhajirin semakin erat ketika nabi menetapkan bahwa antara dua kelompok ini saling mewarisi harta kekayaan. Tidak hanya kedua kelompok itu tapi masyarakat Madinah penyembah berhalapun menyambut kedatangan Nabi, Penganut Yahudi di Madinah mempunyai pendirian yang berbeda, mereka bersama masyarakat Madinah lainnya turut menyambut kehadiran Nabi, bahkan Nabi menggolongkan mereka dengan “ahli al-kitab”.[14] 
Semenjak datang ke Madinah, Nabi mencurahkan perhatiannya untuk mengendalikan suasana politik di Madinah, khususnya suku Auz dan Kharaj. Di Madinah ada tiga golongan Yahudi, yakni Bani Quraidza dan Bani Nadzir, keduanya memihak pada suku Auz. Sedang Bani Quinuka mernihak pada suku Kharai. Permusuhan diantara mereka memuncak sehingga berkobarlah perang Boa'th. Kebijakan politik yang pertama kali ditempuh Nabi adalah upaya menghapus jurang pemisah antar suku-suku dan dan berusaha menyatukan seluruh penduduk Madinah sebagai suatu kesatuan Masyarakat Anshor. Pada sisi lainnya mereka berusaha mempererat hubungan antara masyarakat Anshor dan Muhajirin melalui ikatan persaudaraan diantara mereka.[15] Agaknya Nabi sangat menyadari bahwa dasar fondasi imperium Islam tidak akan kuat kecuali didasari oleh kerukunan dan dukungan kuat dari seluruh lapisan masyarakat. Dalarn kehidupan masyarakat majemuk sangat diperlukan sikap toleransi antar umat beragama. Dalam hal ini kebijakan yang ditempuh Nabi bersandar pada prinsip "Saling hidup dan menghidupi”. Nabi berusaha mendirikan lembaga kesejahteraan umum. Untuk merealisir maksud dan tujuan ini Nabi memprakarsai penyusunan suatu perjanjian di kenal dengan Piagam Madinah yang isinya telah penulis jelaskan diatas. 

E.  Pembinaan Keamanan dan Perluasan Wilayah 
Di dalam Piagam Madinah banyak kalimat yang menunjukkan perlunya keamanan dan ketertian ditegakkan. Antara lain: kaum muslimin harus kompak menunjukkan sikap permusuhan atau membuat kerusuhan (pasal 13), perlindungan Allah adalah satu atau merata (pasal 15), kaum Yahudi dan muslimin saling bantu dalam menghadapi musuh (pasal 37).[16] 
Dalam upaya melakukan konvergensi sosial, Muhammad melakukan langkah-langkah sebagai berikut: pertama: Membangun Masjid sebagai tempat ibadah dan pertemuan dengan kaum muslimin. Kedua, mempersaudarakan Muhajirin dan Anshor. Ketiga: meletakkan dasar-dasar tatanan masyarakat baru yang mengikutsertakan semua penduduk Madinah yang terdiri dari berbagai kelompok, termasuk kaum Yahudi. Langkah-langkah konvergensi tersebut membawa masyarakat Madinah, terutama kaum muslimin menjadi stabil dan makin kuat, Keamanan wilayah yang telah dikuasai kaum muslimin dipelihara dan dipertahankan dari kemungkinan ancaman pihak luar.[17] 
Dalam memelihara keamanan dan pertahanan diwilayah kekuasaannya, Muhammad SAW, membentuk dan mengirim satuan-satuan ekspedisi kedaerah-daerah sebelah luar kota Madinah. Sasaran-sasaran ekspedisi-ekspedisi tampaknya lebih banyak ditujukan terhadap pasukan-pasukan Quraisy yang memang sejak sebelum Hijrah ke Madinah dalam kondisi permusuhan sehingga banyak terjadi peperangan atau bentrokan antara kaum muslimin dan kaum Quraisy Mekkah.
Di Badar sebuah desa disebelah barat daya kota Madinah, pada tahun ke-2 Hijrah terjadi perang antara kaum muslimin dan yang berjumlah 300 orang, dengan kaum musyrikin yang berjumlah 1000 orang. Kaum musyrikin menderita kekalahan hebat sedangkan kemenangan pada kaum Muslimin. Perang Badar itu terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke-2 hijrah.[18] 
Usaha pihak Quraisy Mekkah untuk menghancurkan kekuatan Islam terus dilakukan. Perternpuran kecil dan besar terus berlangsung. Sejak kekalahan dalam perang Badar, kaum musyrikin tidak tenang sebab pada tahun berikutnya mereka telah menyusun kekuatan dan persenjataan. Sekitar 3.000 orang pasukan bergerak dari Mekkah menuju Madinah pada tahun ke-3 Hijrah terjadi perang Uhud sedangkan kaum musimin hanya terdiri sekitar 1.000 orang, namun sekitar 1000 kaum musyrikin yang dipimpin oleh ‘Abdullah Ibn Ubayy tokoh kaum musyrikin menarik diri sebelum berperang.
Kekalahan umat Islam dalam perang Uhud menimbulkan keberanian pada orang-orang Arab Badui untuk merampas harta kekayaan, dan pada tahun ke-4 hijrah terjadi perang beberapa kali dengan kabilah-kabilah Arab Badui. Kemudian pada tahun tahun ke-5 hijrah kaum muslimin dipimpin langsung oleh Muhammad SAW melakukan operasi militer di Dumah al-Janndal, daerah perbatasan antara semenanjung Arabia dengan kekuasaan Bezantiyum. Dan Pada tahun ini (ke-5 Hijrah) juga terjadi perang 'Ahdzab ( pasukan gabungan). Tidak kurang dari 10.000 pasukan musyirik Quraisy di tambah Yahudi mengepung kota Madinah yang dipertahankan sekirar 3.000 pasukan. Kemenangan berada pada pihak Madinah.[19] 
Setelah usai perang 'Ahdzab kehidupan dan perkembangan Islam bertambah mantab. Kehidupan masyarakat di kota Madinah dan sekitarnya menjadi lebih tenang, aman dan tentram. Sejak itu sampai saat perjanjian Hudaybiyyah pada tahun ke-6 Hijrah, praktis tidak ada rongrongan lagi. Pada bulan Dzu al-Qadah tahun ke 6 Hijrah, Muhammad bersama kurang, lebih 1.400-1.600 kaum muslimin berangkat menuju Mekkah dengan maksud melaksanakan ibadah Umrah. Pihak Quraisy menghalanginya dan tercapai kesepakatan umuk mengadakan perdamaian yang disebut dengan peganjian Hudaybiyah. Isi perjanjian itu antara lain: mereka sepakat tidak saling menyerang dalam waktu 10 tahun.[20] 
Namun tidak sampai disitu saja, musuh kaum muslimin masih ada yaitu orang Arab Badui yang belum masuk Islam dan Yahudi. Yahudi Khaybar tidak suka atas perkembangan Islam dan perluasan Islam. Sehingga mengadakan perlawanan terhadap umat Islam. Gerakan subversi mereka dapat dipatahkan pada tahun ke-7 hijrah setelah berlangsung dari benteng yang satu ke benteng Yahudi lain. Akhirnya kekuatan Yahudi dapat di lumpuhkan dan sejak saat itu tunduk pada dibawah kekusaan Islam.
Ditengah mantabnya kekuasaan Kaum muslimin di Madinah dan sekitarnya, Rasulullah selaku Rasul Allah menyampaikan seruan ke berbagai pihak secara luas. la berkirim surat pada Kisra (Maharaja Persia), Kaisar (Maharaja Rumawi), Najasyi (Raja Habasyah di Ethiophia) dan yang lainnya seperti Damaskus, Bashrah, Mesir. Di dalam suratnva itu berisi seruan untuk beriman kepada Allah dan masuk Islam. Ada yang memberikan respon positif dan ada pula yang memberikan respon negatif.[21] 
Pada bulan ke-8 Hijrah kaum musyirikin Quraisy menyerah dan Mekkah jatuh ke tangan kaum muslimin. Pihak Quraisy keliru memperhitungkan peta kekuatan. Peristiwa hijrah mereka pandang sebagai reruntuhan terakhir. Nabi Muhamad tidak terfikir oleh mereka bahwa kota mereka akan ditaklukkan oleh Nabi Muhammad dan para pengikutnya dalam waktu 8 tahun kemudian. Inilah puncak keberhasilan perjuangan bersenjata umat Islam melawan musuh politik dan musuh Islam. Kaum Musyrikin Quraisy beserta sekutu mereka tunduk dibawah kekuasaan umat Islam.[22] 
Penaklukan kota Mekkah menurut Ahmad Ibrahim al-Asy'ari mempunyai pengaruh besar dan luas, baik dari segi agama maupun politik. Dari segi agama tauhid dapat ditegakkan kembali di Mekkah, sedangkan dari segi politik, penaklukan itu seluruh wilayah Jaziarah Arab menjadi satu kesatuan witayah dibawah pimpinan Muhammad SAW. Dengan demikian Negara Madinah yang semula merupakan Negara Kota berubah menjadi negara yang besar, yaitu Negara Arab Islam. Muhammad berada di Mekkah satu bulan. Sebelum kembali ke Madinah, ia menangkap 'Attab lbn Asid sebagai penguasa Mekkah.
Pada tahun ke-9 Hijrah, Abu Bakar mendapat tugas memimpin kaum muslimin Madinah untuk bersama-sama kaum muslimin melaksanakan             ibadah Haji di Mekkah. Dan pada Tahun ke-10 Hijrah, Muhammad SAW memimpin pelaksanaan ibadah haji di Mekkah. Selama nabi pergi Haii dengan kaum muslimin yang datang dari berbagai pelosok jazirah Arab penaggung jawab di Madinah di pimpin oleh Abu Dujanah. Haji kali ini di sebut sebagai Haji Wada' (Haji Perpisahan). Dalam kesempatan itu Nabi Muhammad Menyampaikan pesan-pesan terakhir secara umum.[23] 
Dari kronologi kegiatan dan peristiwa diatas jelas bahwa usaha pembinaan dan ketertiban yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Penuh dengan tantangan dan hambatan. Dengan penuh kesungguhan, hambatan itu dapat dihadapi, dan secara bertahap keamanan dan ketertiban di wilayah yang telah dikuasainya dapat diwujudkan. Pada bulan rabi'ul Awwal tahun ke-11 Hijrah atau Juni 632 M, Muhammad SAW wafat di Madinah. Di akhir hayatnya ia meninggalkan komunitas kaum muslimin yang mempunyai pertahanan kuat, yang secara internal mampu mempertahankan keamanan dan ketertiban, dan baik secara eksternal mampu memperluas wilayah dan mengembangkan dakwah. Keberhasilannya diraih secara bertahap. Berpusat dari Madinah, Negara teokrasi Islam meluas ke seluruh Arabia. Muhammad membentuk suatu pemerintahan berdasarkan visi kenabiannya. 

F.  Penutup 
Periode Madinah di mulai sejak Muhammad hijrah dari Mekah ke Madinah pada tahun 662 H hingga beliau wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal 11 H. Pada periode ini posisi Nabi dan umat Islam mengalami perubahan besar yang mana selama periode Mekah hanya kelompok kecil yang minoritas dan tertindas dan tidak mampu menantang kekeuasaan kaum Quraisy Mekah, maka periode ini menjadi suatu komunitas umat yang kuat dan berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi pemimpin masyarakat.
Pekerjaan awal yang dilakukan Nabi ketika sampai di Madinah adalah membangun masjid dan kemudian membentuk masyarakat baru yang menjelma menjadi suatu negara dan pemerintahan yang ditandai dengan pembuatan perjanjian tertulis pada tahun 622 M  antara Nabi dan kelompok-kelompok yang ada di Madinah yang lebih dikenal dengan Piagam Madinah. Undang-undang itu mengatur kehidupan sosial politik bersama kaum Muslim dan Non muslim dan mengakui Nabi sebagai pemimpin mereka.  
  


[1]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, UI-Press, Jakarta, 1996
  hal.92
[2]K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pra Modern). (Jakarta, Sriguntang, 1996), hal. 38-40
[3]Maman A.M.Sy, Peletakan Dasar-dasar Peradaban Islam Masa Rasulullah, dalam Maryam
   dkk (ed), Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern  (Yogyakarta, 
   ESFI,2002), hal. 35-36
[4] J. Suyuthi Pulungan, Prisip-prinsip pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari 
    Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta, PT Raya Grafindo Persada, 1996)
[5]Philip K. Hitti, History Of The arabs, (Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal. 104
[6] Maman A.M.Sy. Peletakan Dasar-dasar . . . hal. 34-35
[7]Maman A.M.Sy, Peletakan Dasar-dasar . . . hal. 37-39
[8] Ahmad Sukarja, Piagam Madinah Dan UUD 1945, Kajian Perbandingan Tentang Dasar 
    Hidup Bersama Dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta, UIP, 1995), hal. 1
[9]Ibid, hal. 92
[10]Kata piagam menunjuk pada Naskah. Kata Madinah menunjuk pada tempat dibuatnya Naskah. 
     Piagam berarti: Surat resmi yang berisi pernyataan tentang suatu hal, lihat Kamus Besar Bahasa
     Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka, 1983), hal. 680  
[11]Ibid, hal. 46-47
[12]K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pra Modern) . . . hal. 45-46
[13]Munawir Sudjali, Islam Dan Tata Negara, Ajaran Sejarah Dan Pemikiran. Ui Press, Jakarta,
     1990, hal.15-16
[14]K. Ali, Sejarah Islam . . . hal. 62-63
[15]Ibid, hal. 64-65
[16]Ahmad Sukarja, Piagam Madinah Dan UUD 1945, Kajian Perbandingan, hal. 56
[17]Ibnu Hisyam, Sirah Nabawi, (t.tp.Dar-al-fikri), hal. 19
[18]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta:Raja Grafindo Persada,
     2001), hal. 28
[19]K. Ali, Sejarah islam . . . hal. 57
[20]Badri Yatim, Sejarah Peradaban . . . hal. 29-30
[21]Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan UUD 1945 . . . hal. 113
[22]Ibid, hal. 114
[23]Ibid, hal. Lihat dan baca al-Hamid al-Husaini, Memahami Peradaban Sejarah Muhammad
     SAW Sejak Diutus Menjadi Nabi, (Bandung, Pustaka Hidayah, 2000), hal. 937-944